"SELAMAT BERGABUNG" SILAHKAN LIHAT DAN BACA!!!!!!

IKUT GABUNG YUK!! MARI KITA BERBAGI ^_^

Kamis, 04 November 2010

Dear My Heart "Malam"

Huah.. Sungguh Dingin mlm ini.
Di tempat tidur ditemani boneka2ku dan selimutku tak mampu menghangatkanku.
Andai ada pemanas ruang. Aku mau..


Dear, bintang kecil.
Temani malamq yg dgn ini yach.
Malam ini trsa sepi bgt.
Temani aku sampai tidur ya.
Sampai ku terlelap dlm mimpi, jg ak dr gelapnya malam..

Angin, berhembuslah kepadanya.
Smpaikan slm rnduku pdnya ya.
Bilang padanya ku rindu dia.
:)


sunyi. Bawa aku ke alam mimpi. Bawakan aku cerita indah.
Hmm.



Zzzz

Puisi "Tak Seindah"

Mungkin aku tak indah bagaikn bunga.
Mungkin aku tak brkilau bagaikan bintang,
mungkin aku tak begitu benderang bagaikan matahari.

Q memang tak nampak sempurna dbandingkan yg lain.
Q hanya manusia,
yg trlahir biasa tp ku tak ingin biasa. Dan kan jadi yang luar biasa.

Q pny rasa cinta dan kasih. Yang menumbuhkan rasa membasuh luka. Dan
Q pny hati/jntg, yg mrskn, berdetak setiap saatnya.

Indahnya rasa..
Yg indahny ku bs mencintai dan dcintai oleh org yg cintai aku.
Mksh dah bs mncntai ak slama ini dg Tulus dgn Adanya Aku.

Dengan segenap kekuranganku, aku punya setitik kelebihan.
Dengan segenap
rasaku, ku punya segaris cinta yg lambangkan 1(satu).
Satu utuh, satu semua.


Tak bnyk Brhrp tp ku ykn. Esok Hr kan indah. ^_^

Dear My Heart

Aku senang dg keadaan sekarang.
Walau fisikku tak kuat, aku menjadi sadar akan kekuranganku.
Kelemahan yg aku miliki.

Sakit..
Membuatku tau akan kekuranganku, baik dari luar maupun dari dalam..
Aku yg merasa aku kuat, bs brgrak bebas,
melakukan apa saja yg ku ingnkan, Merasa bisa melakukan sesuatu sendiri,
Ternyata aku salah..
Aku trnyata sngat lemah.
Badan yang ku miliki ternyata tak sekuat yg ku kira, tak sesehat yg ku bayangkan.
:)

aku ingin slalu sakit.
Aku ingin sakit.
Dengan sakit aku bs sadar akan kekuranganku,
dengan sakit aku bs tau akan kelemahanku.
:)

aku ingin sakit, walau tak begitu bs ap2 tp aku bs rendah hati dan bersyukur atas diriku sendiri.

Sakit..
Sungguh pelajaran yg bgt brharga.
Pelajaran yg kt rasakan sendiri..
Pelajaran yg kt nilai sendiri..

Tak apa bila badan yg sakit. Asal jangan pkran dan jiwa kita yg sakit.
:)

^_^
sakit tak perlu dikeluhkan tapi perlu diresapkan.

"Bersugguh2lah dalam sakit, karna sakit adalah pelajaran yg menyenangkan.."
^_^
Ikhlas

Puisi "Ataukah???"

Tersentuh
tp tak terasa.
Nyata
tp hanya sebuah bayangan.
Hidup
tp tak berjiwa.
Hangat
tp membakar.
Sejuk
tp menampar kasar.


Suka
tp membelah raga.
Kasih ada
tp sidikit dan sementara.


Berulang..
Seperti roda terkikis oleh jalan, trmakan oleh waktu, trpenjara dalam gelap..

Stitik cahaya lilin redup tmpat tumpuan hidup.
Trlindungi oleh sehelai cinta.
Yang akhrnya mgk shelai cinta itu akan trbkar oleh lilin.
Atau
brakhr dg lilin yg habis dan shlai yg trbakar.
Atau jg kan mati lilin kan trbkar shlai it.
Ataukah apa?!

Tak tau.

Puisi "Sepenggal Rasa"

Mama, cinta dr dalam dari mu. Kau usap tangisQ. Kau peluk hangat KmrahnQ. Kau belai smua mimpiQ.

Mama cintaQ. Disini Q rasakan rindumu.
Dsini Q tak tahan. Q rindu hangatny pelukmu.
Hahaha. Tawa Tdengar bahagia pdhl derita. Diam yg brisi tangis.
Senyum yg brisi Ksedihan. Tak ingin Q tampakkn pdmu. GelisahQ, sedihQ, resahQ, biarlh Q rskn sndri. Krn kau tak pantas tw it.


Q hrs sllu tgr d dpn mu. Pdhl Q lmh. Trlht olhMu Q kuat, pdhl Q rpuh. Tk ada kau dsni.

Tak ad t4 brmnja & brbagi. Tak ada t4 sehangat rumahmu. Tawa Mu, Pa. Ma. Q tungggu esok. Ku kan menyentuh, Mmelukmu.


Kasih sayang luar biasa yg belum trbalas olehQ.



By Rincha

Dear My Heart

Jika kau mencintai. . .
Mencintai bgt bsar. . .
Tapi terabaikan oleh cinta yang dicintai.
Jangan pernah goyah tuk memandang walau sedikit.

Jika kau mengharap kerinduan,
tapi rindumu itu tak trbalas. . .
Maka hapuslah rindumu,
agar hatimu tak menanti dan sakit.

Jika kau ingn tenang dg kt2 cinta atau kata2 syg,
tapi tak bs kau dapat,
maka kau jangan meminta lagi.
Kemana harga dirimu.

Jika kau mencintainya dalam,
tapi kau tak mendapatkan cinta yang tak trlalu besar,
maka jaganlah kau brharap lebih.
Karna cintamu kan berubah jadi benci.

Mencintai itu memberi.
Dicintai itu menerima.
Tak baik terlalu mencintai,
sedangkan hatimu minta balasan . . .
Dan yang menerima tak memberi lebibh. . .
Sedih, kecewa, benci, marahlah yg ada dihatimu. . .

Lebih baik kau menerima,
dan kau beri sedikit lebih banyak dari apa yang kau terima.
Berusaha memberi tanpa balasan, dengan ikhlas..

Karna suatu saat mungkin apa yang kau beri hari ini, esok
kan kau dapatkan nanti
jauh lebih indah dari yg kau inginkan
jauh lebih indah dari yg dibayangkan

Senin, 01 November 2010

Askep Rhinitis Alergi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa hidung (mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar pada rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar ephitelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.
Alergi hidung adalah keadaan atopi yang aling sering dijumpai, menyerang 20% dari populasi anak-anak dan dewasa muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. Di tempat lain, alergi hidung dan penyakit atopi lainnya kelihatannya lebih rendah, terutama pada negara-negara yang kurang berkembang. Penderita Rhinitis alergika akan mengalami hidung tersumbat berat, sekresi hidung yang berlebihan atau rhinore, dan bersin yang terjadi berulang cepat.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan medikal bedah
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tentang penyakit rhinitis
2. Mengetahui perjalanan penyakit rhinitis
3. Mengetahui komplikasi rhinitis
4. Mengetahui asuhan keperawatan penyakit rhinitis
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 KONSEP PENYAKIT
a. Definisi
• Rhinitis alergi Adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat terjadi bertahun-tahun atau musiman. (Dorland,2002 )
• Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien-pasien yang memiliki atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi atau terpapar dengan allergen (zat/materi yang menyebabkan timbulnya alergi) yang sama serta meliputi mekanisme pelepasan mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen yang serupa (Von Pirquet, 1986)
• Rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala-gejala bersin-bersin, keluarnya cairan dari hidung, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan allergen yang mekanisme ini diperantarai oleh IgE (WHO ARIA tahun 2001).
• Rhinitis adalah istilah untuk peradangan mukosa. Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua:
- Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran mukosa hidung dan sinus-sinus aksesoris yang disebabkan oleh suatu virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insidensi tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
- Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena rinitis vasomotor.
b. Etiologi
Rhinitis alergi adalah penyakit peradangan yang diawali oleh dua tahap sensitisasi yang diikuti oleh reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu :
• Immediate Phase Allergic Reaction, Berlangsung sejak kontak dengan allergen hingga 1 jam setelahnya
• Late Phase Allergic Reaction, Reaksi yang berlangsung pada dua hingga empat jam dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung hingga 24 jam.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
Dengan masuknya allergen ke dalam tubuh, reaksi alergi dibagi menjadi tiga tahap besar :
1. Respon Primer, terjadi eliminasi dan pemakanan antigen, reaksi non spesifik
2. Respon Sekunder, reaksi yang terjadi spesifik, yang membangkitkan system humoral, system selular saja atau bisa membangkitkan kedua system terebut, jika antigen berhasil dihilangkan maka berhenti pada tahap ini, jika antigen masih ada, karena defek dari ketiga mekanisme system tersebut maka berlanjut ke respon tersier
3. Respon Tersier , Reaksi imunologik yang tidak meguntungkan

Gejala Klinis
Gejala klinis yang khas adalah terdapatnya serangan bersin yang berulang-ulang terutama pada pagi hari, atau bila terdapat kontak dengan sejumlah debu. Sebenarnya bersin adalah mekanisme normal dari hidung untuk membersihkan diri dari benda asing, tetapi jika bersin sudah lebih dari lima kali dalam satu kali serangan maka dapat diduga ini adalah gejala rhinitis alergi. Gejala lainnya adalah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak. Hidung tersumbat, mata gatal dan kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata.
Beberapa gejala lain yang tidak khas adalah
allergic shiner bayangan gelap di bawah mata yang disebut.
allergic salute Gerakan mengosok-gosokan hidung pada anak- anak
allergi crease, timbulnya garis pada bagian depan hidung.

c. Macam-Macam Rinitis alergi
Berdasarkan waktunya, Rhinitis Alergi dapat di golongkan menjadi:
1. Rinitis alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau asap.
Gejala:
Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan mata terasa gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara berangsur-angsur. Biasanya akan diikuti dengan mata berair, bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); menjadi mudah tersinggung dan deperesi; kehilangan nafsu makan dan mengalami gangguan tidur. Terjadi peradangan pada kelopak mata bagian dalam dan pada bagian putih mata (konjungtivitis). Lapisan hidung membengkak dan berwarna merah kebiruan, menyebabkan hidung meler dan hidung tersumbat.
Pengobatan
Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah antihistamin.
Pemberian antihistamin kadang disertai dengan dekongestan (misalnya pseudoephedrine atau fenilpropanolaminn) untuk melegakan hidung tersumbat. Pemakaian dekongestan pada penderita tekanan darah tinggi harus diawasi secara ketat.
Bisa juga diberikan obat semprot hidung natrium kromolin; efeknya terbatas pada hidung dan tenggorokan bagian belakang. Jika pemberian antihistamin dan kromolin tidak dapat mengendalikan gejala-gejala, maka diberikan obat semprot kortikosteroid.
Jika obat semprot kortikosteroid masih juga tidak mampu meringankan gejala, maka diberikan kortikosteroid per-oral selama kurang dari 10 hari.
2. Rinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu ( serangan yang terjadi sepanjang masa (tahunan)) diakibatkan karena kontak dengan allergen yang sering berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan serta bau-bauan yang menyengat
Gejala
Hidung, langit-langit mulut, tenggorokan bagian belakang dan mata terasa gatal, baik secara tiba-tiba maupun secara berangsur-angsur. Biasanya akan diikuti dengan mata berair, bersin-bersin dan hidung meler. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala, batuk dan mengi (bengek); menjadi mudah tersinggung dan deperesi; kehilangan nafsu makan dan mengalami gangguan tidur. Jarang terjadi konjungtivitis. Lapisan hidung membengkak dan berwarna merah kebiruan, menyebabkan hidung meler dan hidung tersumbat. Hidung tersumbat bisa menyebabkan terjadinya penyumbatan tuba eustakius di telinga, sehingga terjadi gangguan pendengaran, terutama pada anak-anak. Bisa timbul komplikasi berupa sinusitis (infeksi sinus) dan polip hidung.
Pengobatan
Pengobatan awal untuk rinitis alergika musiman adalah antihistamin.
Pemberian antihistamin kadang disertai dengan dekongestan (misalnya pseudoefedrin atau fenilpropanolaminn) untuk melegakan hidung tersumbat. Pemakaian dekongestan pada penderita tekanan darah tinggi harus diawasi secara ketat.
Bisa juga diberikan obat semprot hidung natrium kromolin; efeknya terbatas pada hidung dan tenggorokan bagian belakang. Jika pemberian antihistamin dan kromolin tidak dapat mengendalikan gejala-gejala, maka diberikan obat semprot kortikosteroid; tidak dianjurkan untuk memberikan kortikosteroid per-oral (melalui mulut).
Obat tetes atau obat semprot hidung yang mengandung dekongestan dan bisa diperoleh tanpa resep dokter, sebaiknya digunakan tidak terlalu lama karena bisa memperburuk atau memperpanjang peradangan hidung. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk membuang polip atau pengobatan terhadap infeksi sinus.
Seseorang dapat mengalami rhinitis kombinasi antara dua jenis tersebut. Masih ada satu lagi jenis rhinitis alergi, yaitu : Rhinitis alergi occupational adalah Rhinitis yang terkait dengan pekerjaan. Paparan allergen didapat di tempat bekerja. Biasanya dialami oleh orang yang bekerja dekat dengan binatang. (Sheikh, 2008)

Rhinitis Non Alergi
Pengertian
Rhinitis non allergi disebabkan oleh : infeksi saluran napas (rhinitis viral dan rhinitis bakterial, masuknya benda asing kedalam hidung, deformitas struktural, neoplasma, dan massa, penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif.
Gejala
• Kongesti nasal
• Rabas nasal (purulent dengan rhinitis bakterialis)
• Gatal pada nasal
• Bersin-bersin
• Sakit kepala
Terapi Medik
• Pemberian antihistamin
• Dekongestan
• Kortikosteroid topikal
• Natrium kromolin

Berdasarkan penyebabnya, rhinitis non alergi di golongkan sebagai berikut :
• Rinitis vasomotor
Pengertian
Rhinitis vasomotor adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis.(www. Google.com). Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergisehingga sulit untuk dibedakan.
Pengobatan
Pengobatan Rinitis Vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam:
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :
 Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya: Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine (oral) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ).
 Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
 Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
 Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya.Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik (electrical cautery).
Diatermi submukosa konka inferior (submucosal diathermy of the inferior turbinate )
Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy )



• Rinitis Medikamentosa
Pengertian
Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokonstriktor topical (obat tetes hidung atau obat semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (Drug Abuse).
Gejala dan Tanda
Penderita mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan konka dengan secret hidung yang berlebihan. Apabila diuji dengan adrenalin, adema konka tidak berkurang.
Terapi
1. Hentikan pemakaian obat tetes dan semprot hidung.
2. Untuk mengatasi sunbatan berulang, beri kortikosteroit secara penurunan bertahab dengan menurunkan dosis 5 mg setiap hari.(misalnya hari 1: 40 mg, hari 2: 35 mg dan seterusnya).
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefredin). Apabila dengan cara ini tak ada perbaikan setelah 3 minggu pasien dirujuk ke dokter THT.
• Rhinitis Atrofi
Pengertian
Rhinitis Atrofi adalah satu penyakit infeksi hidung kronik dengan tanda adanya atrofi progesif tulang dan mukosa konka. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan secret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta berbau busuk. Sering mengenai masyarakat dengan tingkat social ekonomi lemah dan lingkungan buruk. Lebih sering mengenai wanita, terutama pada usia pubertas.
Etiologi
Belum jelas, beberapa hal yang dianggap sebagai penyebabnya seperti infeksi oleh kuman spesifik, yaitu spesies Klebsiella, yang sering Klebsiella ozanae, kemudian stafilokok, sreptokok, Pseudomonas aeruginosa, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronik, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen. Mungkin berhubungan dengan trauma atau terapi radiasi.
Tanda dan Gejala
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari (umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Hidung tersumbat.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan tenggorok.
5. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
d. Pathofisiologi
Tepung sari yang dihirup, spora jamur, dan antigen hewan di endapkan pada mukosa hidung. Alergen yang larut dalam air berdifusi ke dalam epitel, dan pada individu individu yang kecenderungan atopik secara genetik, memulai produksi imunoglobulin lokal (Ig ) E. Pelepasan mediator sel mast yang baru, dan selanjutnya, penarikan neutrofil, eosinofil, basofil, serta limfosit bertanggung jawab atas terjadinya reaksi awal dan reaksi fase lambat terhadap alergen hirupan. Reaksi ini menghasilkan mukus, edema, radang, gatal, dan vasodilatasi. Peradangan yang lambat dapat turut serta menyebabkan hiperresponsivitas hidung terhadap rangsangan nonspesifik suatu pengaruh persiapan. (Behrman, 2000).
e. Penatalaksanaan Medis
a. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen penyebab
b. Pengobatan, penggunaan obat antihistamin H-1 adalah obat yang sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi atau dengan kombinasi dekongestan oral. Obat Kortikosteroid dipilih jika gejala utama sumbatan hidung akibat repon fase lambat tidak berhasil diatasi oleh obat lain
c. Tindakan Operasi (konkotomi) dilakukan jika tidak berhasil dengan cara diatas
d. Penggunaan Imunoterapi.
Hindari kontak & eliminasi, Keduanya merupakan terapi paling ideal.Hindari kontak dengan alergen penyebab, sedangkan eliminasi untuk alergen ingestan (alergi makanan).
Simptomatik : Terapi medikamentosa yaitu antihistamin, dekongestan dan kortikosteroid
• Antihistamin
Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin oral. Antihistamin oral dibagi menjadi dua yaitu generasi pertama (nonselektif) dikenal juga sebagai antihistamin sedatif serta generasi kedua (selektif) dikenal juga sebagai antihistamin nonsedatif.
Efek sedative antihistamin sangat cocok digunakan untuk pasien yang mengalami gangguan tidur karena rhinitis alergi yang dideritanya. Selain itu efek samping yang biasa ditimbulkan oleh obat golongan antihistamin adalah efek antikolinergik seperti mulut kering, susah buang air kecil dan konstipasi. Penggunaan obat ini perlu diperhatikan untuk pasien yang mengalami kenaikan tekanan intraokuler, hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
Antihistamin sangat efektif bila digunakan 1 sampai 2 jam sebelum terpapar allergen. Penggunaan antihistamin harus selalu diperhatikan terutama mengenai efek sampingnya. Antihistamin generasi kedua memang memberikan efek sedative yang sangat kecil namun secara ekonomi lebih mahal.

• Dekongestan
Dekongestan topical dan sistemik merupakan simpatomimetik agen yang beraksi pada reseptor adrenergic pada mukosa nasal, memproduksi vasokonstriksi. Topikal dekongestan biasanya digunakan melalui sediaan tetes atau spray. Penggunaan dekongestan jenis ini hanya sedikit atau sama sekali tidak diabsorbsi secara sistemik (Dipiro, 2005). Penggunaan obat ini dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan rhinitis medikamentosa (rhinitis karena penggunaan obat-obatan). Selain itu efek samping yang dapat ditimbulkan topical dekongestan antara lain rasa terbakar, bersin, dan kering pada mukosa hidung. Untuk itu penggunaan obat ini memerlukan konseling bagi pasien.
Sistemik dekongestan onsetnya tidak secepat dekongestan topical. Namun durasinya biasanya bisa lebih panjang. Agen yang biasa digunakan adalah pseudoefedrin. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat walaupun digunakan pada dosis terapinya (Dipiro, 2005). Obat ini harus hati-hati digunakan untuk pasien-pasien tertentu seperti penderita hipertensi. Saat ini telah ada produk kombinasi antara antihistamin dan dekongestan. Kombinasi ini rasional karena mekanismenya berbeda.

• Nasal Steroid
Merupakan obat pilihan untuk rhinitis tipe perennial, dan dapat digunakan untuk rhinitis seasonal. Nasal steroid diketahui memiliki efek samping yang sedikit.
Obat yang biasa digunakan lainnya antara lain sodium kromolin, dan ipatropium bromida.
Operatif : Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Imunoterapi : Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan. Netralisasi tidak membentuk blocking antibody dan untuk alergi ingestan.
2.2 Komplikasi
• Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung.
• Otitis media. Rinitis alergi dapat menyebabkan otitis media yang sering residif dan terutama kita temukan pada pasien anak-anak.
• Sinusitis kronik
• Otitis media dan sinusitis kronik bukanlah akibat langsung dari rinitis alergi melainkan adanya sumbatan pada hidung sehingga menghambat drainase.
2.3 Discharge planning
 Instruksikan pasien yang allergik untuk menghindari allergen atau iritan spt (debu, asap tembakau, asap, bau, tepung, sprei)
 Sejukkan membran mukosa dengan menggunakan sprey nasal salin.
 Melunakkan sekresi yang mengering dan menghiangkan iritan.
 Ajarkan tekhnik penggunaan obat-obatan spt sprei dan serosol.
 Anjurkan menghembuskan hidung sebelum pemberian obat apapun thd hidung




























BAB III
ISI
Asuhan Keperawatan Pada Penderita Rhinitis Alergi

3.1. Pengkajian
• Identitas
 Nama
 jenis kelamin
 umur
 bangsa
• keluhan utama
Bersin-bersin, hidung mengeluarkan sekret, hidung tersumbat, dan hidung gatal
• Riwayat peyakit dahulu
Pernahkan pasien menderita penyakit THT sebelumnya.
• Riwayat keluarga
Apakah keluarga adanya yang menderita penyakit yang di alami pasien
• Pemeriksaan fisik :
 Inspeksi : permukaan hidung terdapat sekret mukoid
 Palpasi : nyeri, karena adanya inflamasi

• Pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan nasoendoskopi
 Pemeriksaan sitologi hidung
 Hitung eosinofil pada darah tepi
 Uji kulit allergen penyebab
3.2. Diagnosa
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adanya secret yang mengental
2. Pertukaran gas, kerusakan dapat dihubungkan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekresi).
3. Peningkatan suhu tubuh dari suhu tubuh normal
4. Ketidaknyamanan pasien sehubungan dengan hidung yang meler
5. Rasa nyeri di kepala
6. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan medis
7. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
8. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
10. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore

3.3. Intervensi

1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi /adnya secret yang mengental.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah secret dikeluarkan
Kriteria :
a. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
b. Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi Rasional
a. Kaji penumpukan secret yang ada
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Kolaborasi dengan team medis a. Mengetahui tingkat keparahan dan tindakan selanjutnya
b. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi
c. Kerjasama untuk menghilangkan obat yang dikonsumsi

2. Pertukaran gas, kerusakan dapat dihubungkan dengan gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan napas oleh sekresi).
Tujuan : Suplai oksigen terpenuhi
Kriteria :
- Klien tidak kesulitan bernafas lagi
- Jalan nafas kembali normal sekresi berkurang atau tidak ada
Intervensi Rasional
a.Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot aksesori, napas bibir,ketidakmampuan bicara/berbincang.
b. Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas.
c. Dorong mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan a. Berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan
b. Pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi duduk tinggi
c. Encer, bahkan bisa menjadi kental adalah sumber ganguan suplai oksigen.

3. Peningkatan suhu tubuh dari suhu tubuh normal
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria :
- Suhu badan klien sudah normal
Intervensi Rasional
a.Kaji Suhu tubuh pasien,
b. Berikan kompres
c. Kolaborasi dengan tim medis a. kondisi pasien yang tidak demam menunjukkan bawa kondisi tubuh yang mulai membaik
b. Untuk menurunkan suhu tubuh
c.Pemberian Obat penurunan panas.

4. Ketidaknyamanan pasien sehubungan dengan hidung yang meler
Tujuan : Pasien merasa nyaman
Tujuan : Hidung klien sudah tidak meler/tidak ada mukus
Kriteria :
- klien sudah merasa nyaman
Intervensi Rasional
a. Kaji jumlah mukus, bentuk dan warna
b. Anjurkan pasien mengeluarkan mucus,
c. Anjurkan pasien untuk membersihkan hidung a. Melihat tingkat keparahan penyakit
b. Mengurangi mukus dalam hidung agar bisa bernafas dengan nyaman
c.Hidung bersih

5. Rasa nyeri di kepala
Tujuan : Mengurangi rasa nyeri di kepala
Kriteria :
a. Klien tidak merasa nyeri
b. Klien mengetahui cara pemijatan refleksi
Intervensi Rasional
a. Kaji Skala nyeri
b. Memberikan pijatan refleksi di kepala
c. Anjurkan pasien untuk beristirahat a. Mengetahui tingkatan sakit
b. Merasakan kenyamanan
c. Mengembalikan kondisi yang baik pada tubuh

6. Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan tentang penyakit dan prosedur tindakan medis
Tujuan : Cemas klien berkurang/hilang
Kriteria :
- Klien akan menggambarkan tingkat kecemasan dan pola kopingnya
- Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
Intervensi Rasional
1. Kaji tingkat kecemasan klien
2. Berikan kenyamanan dan ketentaman pada klien :
- Temani klien
- Perlihatkan rasa empati( datang dengan menyentuh klien )
3. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakit yang dideritanya perlahan, tenang seta gunakan kalimat yang jelas, singkat mudah dimengerti
4. Singkirkan stimulasi yang berlebihan misalnya :
- Tempatkan klien diruangan yang lebih tenang
- Batasi kontak dengan orang lain /klien lain yang kemungkinan mengalami kecemasan
5. Observasi tanda-tanda vital.
6. Bila perlu , kolaborasi dengan tim medis 1. Menentukan tindakan selanjutnya
2. Memudahkan penerimaan klien terhadap informasi yang diberikan
3. Meningkatkan pemahaman klien tentang penyakit dan terapi untuk penyakit tersebut sehingga klien lebih kooperatif
4. Dengan menghilangkan stimulus yang mencemaskan akan meningkatkan ketenangan klien.
5. Mengetahui perkembangan klien secara dini.
6. Obat dapat menurunkan tingkat kecemasan klien

7. Gangguan pola istirahat berhubungan dengan penyumbatan pada hidung
Tujuan : klien dapat istirahat dan tidur dengan nyaman
Kriteria :
- Klien tidur 6-8 jam sehari
Intervensi Rasional
a. Kaji kebutuhan tidur klien.
b. ciptakan suasana yang nyaman.
c. Anjurkan klien bernafas lewat mulut
d. Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat a. Mengetahui permasalahan klien dalam pemenuhan kebutuhan istirahat tidur
b. Agar klien dapat tidur dengan tenang
c. Pernafasan tidak terganggu.
d. Pernafasan dapat efektif kembali lewat hidung

8. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Intervensi Rasional
a. Kaji Berat badan pasien, makanan yang dimakan.
b. Berikan makan porsi kecil tapi sering.
c. Anjarkan pasien tentang pola makan yang sehat dan bergizi
d. Kolaborasi dengan ahli gizi a. Anoreksia karena ketidaknyamanan akibat sputum
b. Menambah tenaga pasien
c. Pasien mengetahui makanan yang perlu di konsumsi
d. Nutrisi terpenuhi

9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan : Membantu pasien dalam aktivitas
Kriteria :
- Klien sudah bisa melakukan aktivitas seperti biasa
Intervensi Rasional
a. Kaji kegiatan pasien
b. Anjurkan Pasien untuk istirahat
c. Berikan bantuan bila pasien tidak bias melakukan kegiatannya
a. Pasien bisa melakukan aktivitas seperti biasa
b. Mengembalikan kondisi pasien menjadi fit
c. Aktivitas pasien berjalan lancar


10. Gangguan konsep diri berhubungan dengan rhinore
Tujuan : Hidung klien sudah tidak meler/tidak ada mukus
Kriteria :
- klien sudah merasa nyaman
Intervensi Rasional
a. Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
b. ajarkan individu menegenai sumber komunitas yang tersedia, jika dibutuhkan (misalnya : pusat kesehatan mental)
c. dorong individu untuk mengekspresikan perasaannya, khususnya bagaimana individu merasakan, memikirkan, atau memandang dirinya a. memberikan minat dan perhatian, memberikan kesempatan untuk memperbaiakikesalahan konsep
b. pendekatan secara komperhensif dapat membantu memenuhi kebutuhan pasienuntuk memelihara tingkah laku koping
c. dapat membantu meningkatkan tingkat kepercayaan diri, memperbaiki harga diri, mrnurunkan pikiran terus menerus terhadap perubahan dan meningkatkan perasaan terhadap pengendalian diri

3.4. Implementasi
1. Mendorong individu untuk bertanya mengenai masalah, penanganan, perkembangan dan prognosis kesehatan
2. Mengatur kelembapan ruangan untuk mencegah pertumbuhan jamur
3. Menjauhkan hewan berbulu dari pasien alergi, namun hal ini sering tidak dipatuhi terutama oleh pecinta binatang
4. Membersihkan kasur secara rutin
5. Lapisi bantal, kasur, dan tempat tidur springbed dengan plastik atau vinil.
6. Ganti kasur atau bantal kapuk atau kulit dengan kasur atau bantal busa.
7. Bersihkan tempat tidur secara teratur. Cuci sarung bantal, sprei, dan selimut dengan air hangat.
8. Bersihkan karpet dengan vacuum cleaner dan pel lantai secara teratur. Jika perlu, jangan gunakan karpet di dalam kamar tidur.
9. Minimalkan atau bersihkan benda-benda yang bisa menjadi tempat berkumpulnya debu di rumah.
Perawatan
a) Jika ada peradangan di hidung, perlakuan pilihan formulir ini untuk non-alergi rhinitis adalah sengau corticosteroid sprays.
b) Jika ada banyak pilek, ipratropium sengau semprot dapat menyediakan bantuan terhadap gejala ini di non-alergi rhinitis.
c) Jika hidung tersumbat adalah masalah besar, decongestant tablet atau sprays dapat digunakan, tetapi sprays tidak boleh digunakan untuk waktu lama,
d) Baru-baru ini, sebuah antihistamine sengau semprot telah bermanfaat dalam melegakan gejala non-alergi rhinitis.
e) Dengan belajar tentang penyebab dan gejala dari berbagai bentuk rhinitis, Anda akan dapat lebih baik untuk mengidentifikasi gejala dan memicuAnda allergist / immunologist dapat membantu dengan membuat diagnosa yang akurat dan mengembangkan rencana perawatan yang efektif untuk Anda.
3.5. Evaluasi
1. Mengetahui tentang penyakitnya
2. Sudah bisa bernafas melalui hidung dengan normal
3. Bisa tidur dengan nyenyak
4. Kebutuhan nutrisi sudah terpenuhi
5. Rasa nyeri berkurang
6. Mengutarakan penyakitnya tentang perubahan penampilan
7. Kondisi telah membaik, suhu tubuh normal
8. Bisa melakukan aktivitas seperti biasa

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Rhinitis adalah suatu inflamasi ( peradangan ) pada membran mukosa di hidung. (Dipiro, 2005 )
Rhinitis adalah peradangan selaput lendir hidung. ( Dorland, 2002 )
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas :
• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur
• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang
• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah
• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan
4.2. Saran
penyusun sangat membutuhkan saran, demi meningkatkan kwalitas dan mutu makalah yang kami buat dilain waktu. Sehingga penyusun dapat memberikan informasi yang lebih berguna untuk penyusun khususnya dan pembaca umumnya.




DAFTAR PUSTAKA

-Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1 Edisi 15. Jakarta: EGC
-Behrman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2 Edisi 18. Jakarta: EGC
-Dorland, WA. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC
-Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
-Junadi, purnawan dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
-Long, barbara C. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: Yayasan IAPK Pajajaran
-Mansjoer, arif dkk. 1993. Kapita Selekta Kedokteran Jilid.1 Edisi 3. jakarta : Media Aesculapius
- Price, silvya A. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta : EGC
-Smeltzer, suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
- Soepardi, efiaty arsyad. 1997. Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta : fakultas kedokteran universitas indonesia
- www.google.com
http://hendy-kumpulanaskep.blogspot.com/

Askep Hirsprung

BAB 1
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit ini pleksus mienterikus tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang.
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai oleh tidak adanya sel ganglion pada kolon distal sehingga menyebabkan obstruksi fungsional. Sebagian kasus sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dipertimbangkan pada neonatus yang gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah dilahirkan.
Meskipun enema kontras berguna dalam membantu menegakkan diagnosis, biopsi rektal full thickness tetap merupakan kriteria standar. Begitu diagnosis ditegakkan penanganan dasar adalah mengeluarkan usus aganglionik yang berfungsi buruk dan membuat anastomosis ke rektum distal dengan usus yang memiliki inervasi yang baik (dengan atau tanpa pengalihan awal).
Epidemiologi Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari setiap 5.000 bayi yang lahir dan ini berhubungan pada 1 sampai dengan 4 dari obstruksi usus pada bayi baru lahir. Referensi lain mengatakan bahwa penyakit ini terjadi pada 1 dari 1500 hingga 7000 bayi baru lahir. Ini 5 kali lebih sering pada laki-laki dan kadang-kadang terjadi dengan kondisi kongenital lainnya seperti Down Syndrome. Di Amerika Serikat penyakit ini terjadi kurang lebih pada 1 kasus setiap 5400 hingga 7200 bayi baru lahir.
1. 2. Permasalahan
a. Apakah yang dimaksud dengan penyakit Hirsprung?
b. Apa sajakah macam-macam penuakit Hirsprung?
c. Apakah yang menyebabkan penyakit Hirsprung ini terjadi?
d. Apa sajakah tanda dan gejala penyakit Hirsprung?
e. Bagaimanakah pemeriksaan diagnostic penyakit Hirsprung?
f. Bagaimanakah penatalaksanaan penyakit Hirsprung?
g. Apa sajakah Asuhan Keperawata yang dapat diterapkan pada penderita penyakit Hirsprung?

1. 3. Manfaat
a. Mengetahui pengertian dari penyakit Hisrprung
b. Mengetahui macam-macam penyakit Hirsprung
c. Mengetahui penyebab dari penyakit Hirsprung
d. Mengetahui tanda dan gejala penyakit Hirsprung
e. Mengetahui pemeriksaan diagnostic penyakit Hirsprung
f. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Hirsprung
g. Mengetahui dan menjalankan Asuhan keperawatan pada penderita Hirsprung






BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Pengertian
Ada beberapa pengertian mengenai Mega Colon, namun pada intinya sama yaitu penyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan (Betz, Cecily & Sowden : 2000).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan 3 Kg, lebih banyak laki –£terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir laki dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).
Hirschprung adalah ketiadaan kongenital ganglion otonom yang mempersarafi pleksus mienterikus ditaut anorektum dan seluruh atau sebagian rektum dan kolon ganglion otonom ke pleksus mienterikus secara normal merangsang motilitas dan memastikan penyaluran tinja. Pada penyakit hirschsprung, tinja menumpuk di usus. (Corwin, J, EL, Zabeth. 2000 : 533).
Penyakit hirschsprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatis pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. (Ngastiyah, 1997 : 138).
Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidak adekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 : 507).
2.2. Macam-macam Penyakit Hirschprung
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :
a. Penyakit Hirschprung segmen pendek
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70% dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak perempuan.
b. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan. (Ngastiyah, 1997 : 138)
2.3. Etiologi
a. Mungkin karena adanya kegagalan sel-sel ”Neural Crest” ambrional yang berimigrasi ke dalam dinding usus atau kegagalan pleksus mencenterikus dan submukoisa untuk berkembang ke arah kranio kaudal di dalam dinding usus.
b. Disebabkan oleh tidak adanya sel ganglion para simpatis dari pleksus Auerbach di kolon.
c. Sebagian besar segmen yang aganglionik mengenai rectum dan bagian bawah kolon sigmoid dan terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada kolon.
(Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985 : 1134)
d. Sering terjadi pada anak dengan ”Down Syndrome”.
e. Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada nyenterik dan submukosa dinding pleksus.(Suriadi, 2001 : 242).

2.4. Tanda dan Gejala
Manifestasi Klinis
a. Kegagalan lewatnya mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan.
b. Konstipasi kronik mulai dari bulan pertama kehidupan dengan terlihat tinja seperti pita.
c. Obstruksi usus dalam periode neonatal.
d. Nyeri abdomen dan distensi.
e. Gangguan pertumbuhan.
(Suriadi, 2001 : 242)
f. Obstruk total saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evaluai mekonium.
g. Keterlambatan evaluasi mekonium diikuti obstruksi periodic yang membaik secara spontan maupun dengan edema.
h. Gejala ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut.
i. Konstruksi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi abdomen dan demam. Diare berbau busuk dapat menjadi satu-satunya gejala.
j. Gejala hanya konstipasi ringan.
(Mansjoer, 2000 : 380)
• Masa Neonatal :
a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 48 jam setelah lahir.
b. Muntah berisi empedu.
c. Enggan minum.
d. Distensi abdomen.

• Masa bayi dan anak-anak :
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita, berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Gagal tumbuh
(Betz, 2002 : 197)

Tanda dan gejala setelah bayi lahir
1. Tidak ada pengeluaran mekonium (keterlambatan > 24 jam)
2. Muntah berwarna hijau
3. Distensi abdomen, konstipasi.
4. Diare yang berlebihan yang paling menonjol dengan pengeluaran tinja / pengeluaran gas yang banyak.
Gejala pada anak yang lebih besar  karena gejala tidak jelas pada waktu lahir.
1. Riwayat adanya obstipasi pada waktu lahir
2. Distensi abdomen bertambah
3. Serangan konstipasi dan diare terjadi selang-seling
4. Terganggu tumbang karena sering diare.
5. Feses bentuk cair, butir-butir dan seperti pita.
6. Perut besar dan membuncit.
7. Letargi
8. Masalah dalam penyerapan nutrisi, yang mengarah penurunan berat badan, diare atau keduanya dan penundaan atau pertumbuhan yang lambat.
9. Infeksi kolon, khususnya anak baru lahir atau yang masih sangat muda, yang dapat mencakup enterokolitis, infeksi serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-kadang dilatasi kolon yang berbahaya.
• Pada anak-anak yang lebih tua atau dewasa, gejala dapat mencakup konstipasi dan nilai rendah dari sel darah merah (anemia) karena darah hilang dalam feses juga disertai dengan leukositosis.










2. 5. Patofisiologi
Tidak adanya sel-sel ganglion
Dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon
Abnormalan / tidak adanya peristalsis serta tidak adanya
evakuasi usus spontan
Sfingter rectum tidak dapat berelaksasi
Mencegah keluarnya feses secara normal
Isi usus terdorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
di daerah tersebut
Dilatasi bagian usus yang proksimal
Terhadap daerah tersebut (Betz. 2002 : 196)








2. 6. Pathoflow
Gagalnya Sel-sel Gagal bermigrasi ke
Neural Crest dinding usus
Gagal eksitensi kraniokaudal
di dinding usus
Migrasi terhenti di kolon distal
Gagal terbentuknya system saraf usus
Aganglionik/tdk adnya sel-sel ganglion di rektosigmoid kolon
mknn tdk tercerna Tidak adanya peristalsis dan evakuasi usus spontan
dg baik Spinkter rectum tdk berelaksasi Mekonium tdk keluar
nutrisi tdk terserap Mencegah keluarnya fases scr normal
Fases menumpuk di abnomen Destensi abnomen
Perut Buncit Dilatasi usus Konstipasi kronik
Infeksi usus Hipertrofi usus
Diare/dg tinja spt pita Mekonium lama di kolon
BB Kadar leukosit Infeksi kolon
Pertumbuhan terhambat Respon imun ke hipotalamus Muntah
Hipertermi/demam


2. 7. Komplikasi
a. Gawat pernapasan (akut)
b. Enterokolitis (akut)
c. Striktura ani (pasca bedah)
d. Inkontinensia (jangka panjang)
(Betz, 2002 : 197)
e. Obstruksi usus
f. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
g. Konstipasi
(Suriadi, 2001 : 241)
2. 8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap and mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
b. Biopsy otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah narkos. Pemeriksaan ini bersifat traumatic.
c. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin dari hasil biopsy asap. Pada penyakit ini klhas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetikolin enterase.
d. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsy usus.
(Ngatsiyah, 1997 : 139)
e. Foto abdomen ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
f. Enema barium ; untuk mengetahui adanya penyumbatan pada kolon.
g. Biopsi rectal ; untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.
h. Manometri anorektal ; untuk mencatat respons refleks sfingter interna dan eksterna.
(Betz, 2002 : 197).
2. 9. Penatalaksanaan
Pembedahan hirschsprung dilakukan dalam 2 tahap, yaitu dilakukan kolostomi loop atau double-barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal (memerlukan waktu 3-4 bulan), lalu dilanjutkan dengan 1 dari 3 prosedur berikut:
1. Prosedur duhamel : Penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang usus aganglionik.
2. Prosedur swenson : Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dibatasi.
3. Prosedur saave : Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus.
a. Intervensi bedah
Ini terdiri dari pengangkatan ari segmen usus aganglionik yang mengalami obstruksi. Pembedahan rekto-sigmoidektomi dilakukan teknik pull-through dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama, tahap kedua atau ketiga, rekto sigmoidoskopi di dahului oleh suatu kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur kedua.
b. Persiapan prabedah
1. Lavase kolon
2. Antibiotika
3. Infuse intravena
4. Tuba nasogastrik
5. Perawatan prabedah rutin
c. Pelaksanaan pasca bedah
1. Perawatan luka kolostomi
2. Perawatan kolostomi
3. Observasi distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis dan peningkatan suhu.
4. Dukungan orangtua, bahkan kolostomi sementara sukar untuk diterima. Orangtua harus belajar bagaimana menangani anak dengan suatu kolostomi. Observasi apa yang perlu dilakukan bagaimana membersihkan stoma dan bagaimana memakaikan kantong kolostomi.(Betz, 2002 : 198)









BAB III
ISI

ASUHAN KEPERAWATAN HIRSCHSPRUNG
3. 1. Pengkajian
1. Informasi identitas/data dasar meliputi, nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal pengkajian, pemberi informasi.
2. Keluhan utama
Masalah yang dirasakan klien yang sangat mengganggu pada saat dilakukan pengkajian, pada klien Hirschsprung misalnya, sulit BAB, distensi abdomen, kembung, muntah.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Yang diperhatikan adanya keluhan mekonium keluar setelah 24 jam setelah lahir, distensi abdomen dan muntah hijau atau fekal.
Tanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan pasien dan tanyakan bagaimana upaya klien mengatasi masalah tersebut.
4. Riwayat kesehatan masa lalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, riwayat kehamilan, persalinan dan kelahiran, riwayat alergi, imunisasi.
5. Riwayat Nutrisi meliputi : masukan diet anak dan pola makan anak.
6. Riwayat psikologis
Bagaimana perasaan klien terhadap kelainan yang diderita apakah ada perasaan rendah diri atau bagaimana cara klien mengekspresikannya.
7. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada orang tua apakah ada anggota keluarga yang lain yang menderita Hirschsprung.
8. Riwayat sosial
Apakah ada pendakan secara verbal atau tidak adekuatnya dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain.
9. Riwayat tumbuh kembang
Tanyakan sejak kapan, berapa lama klien merasakan sudah BAB.
10. Riwayat kebiasaan sehari-hari
Meliputi – kebutuhan nutrisi, istirahat dan aktifitas.
3. 2. Pemeriksaan Fisik
1. Sistem integumen
Kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat dilihat capilary refil, warna kulit, edema kulit.
2. Sistem respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernapas, frekuensi pernapasan
3. Sistem kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama denyut nadi apikal, frekuensi denyut nadi / apikal.
4. Sistem penglihatan
Kaji adanya konjungtivitis, rinitis pada mata
5. Sistem Gastrointestinal
Kaji pada bagian abdomen palpasi adanya nyeri, auskultasi bising usus, adanya kembung pada abdomen, adanya distensi abdomen, muntah (frekuensi dan karakteristik muntah) adanya keram, tendernes.
3. 3. Diagnosa Keperawatan
Pre operasi Hirschsprung
1. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan motilitas usus
2. Kecemasan berhubungan dengan tindakan prosedur dan kurang pengetahuan.
Post operasi Hirschsprung
1. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan masukan cairan secara oral akibat prosedur medis.
2. Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, trauma pembedahan.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan prosedur invasif / pembedahan : stoma, aliran feses dan flatus.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (pembuatan stoma)
5. Gangguan penatalaksanaan, perawatan dirumah berhubungan dengan kurangnya informasi.
6. Perubahan eliminasi bowel b.d efek anestesia dan manipulasi operasi terhadap peristaltik

3. 4. Rencana Keperawatan
Pre operasi Hirschsprung
Dx 1 : Risiko tinggi cedera berhubungan dengan penurunan motilitas usus.
Intervensi : - Beri enema salin sesuai kebutuhan
- Beri antibiotik sistemik dan irigasi kolon antibiotik sesuai ketentuan.
- Beri cairan dan elektrolit sesuai ketentuan
- Ukur dan catat lingkar abdomen
Dx 2 : Kecemasan berhubungan dengan tindakan prosedur dan kurang pengetahuan.
Intervensi : - Jelaskan semua prosedur pre operasi
- Bina hubungan saling percaya dengan anak dan keluarga.
- Mendampingi keluarga dan anak sesering mungkin dan tidak terlalu lama.

Post operasi Hirschsprung
Dx 1 : Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pembatasan masukan cairan secara oral akibat prosedur mendis.
Intervensi :
- Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran
- Ukur tanda-tanda vital, adanya Hipotensi, takikardi, turgor kulit dan membran mukosa.
- Pantau suhu kulit, palpasi denyut perifer.
- Kolaborasi pemberian cairan parenteral (IV) sesuai indikasi.
Dx 2 : Nyeri berhubungan dengan gangguan pada kulit, jaringan, trauma dan pembedahan.
Intervensi :
- Observasi rasa sakit secara reguler (misal setiap 2 jam sekali), catat karakteristik, lokasi
dan intensitas (skala 0-10).
- Ukur tanda-tanda vital, observasi adanya takikardi hipertensi dan peningkatan
pernafasan.
- Observasi ketidaknyamanan yang mungkin selain dari prosedur operasi.
Dx 3 : Resiko terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan pemasangan
prosedur invasif / pembedahan : stoma, aliran feses, dan flatus.
Intervensi :
- Gunakan teknik aseptik yang ketat dalam melakukan tindakan keperawatan : perawatan
kolostomi.
- Periksa luka secara teratur, catat karakteristik luka dan intensitas kulit.
- Lihat stoma / area kulit peristaltik pada tiap penggantian kantung berisikan dengan air,
keringkan, catat adanya iritasi / kemerahan.
- Pertahankan kebersihan / mengeringkan area stoma untuk membantu pencegahan kulit.
- Observasi jumlah dan karakteristik cairan pada luka.
Dx 4 : Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (pembuatan stoma) aliran material yang keluar.
Intervensi : - Gunakan teknik cuci tangan yang benar.
- Lakukan dan pertahankan kesterilan semua peralatan.
- Pantau hasil pemeriksaan laboratorium.
- Observasi tanda-tanda infeksi pada area luka setiap perawatan.
Dx. 5 : Gangguan penatalaksanaan, perawatan dirumah berhubungan dengan kurangnya
informasi.
Intervensi :
- Observasi kemampuan fisik dan emosi orang tua.
- Berikan pendidikan kesehatan pada keluarga mengenai penatalaksanaan keperawatan.
- Anjurkan keluarga untuk mengungkapkan kekhawatiran tentang hasil pembedahan.

Dx. 6 : Perubahan eliminasi bowel b.d efek anestesia dan manipulasi operasi terhadap
peristaltik.
Intervensi :
- Pastikan kebiasaan eliminasi urine.
- Kaji bising usus dan pantau gerakan usus termasuk frekuensi
- Pantau masukan dan haluaran serta berat badan
- Dorong masukan cairan adekuat
- Berikan makan sedikit tapi sering

3. 5. Evaluasi
Pre operasi Hirschsprung
1. Cedera tidak terjadi
2. Lemas dapat teratasi
Post operasi Hirschsprung
1. Kebutuhan cairan dapat terpenuhi
2. Rasa nyeri dapat berkurang atau teratasi
3. Integritas kulit baik
4. Infeksi dapat teratasi dan tidak terjadi
5. Penatalaksanaan perawatan dirumah dapat dilakukan dengan tepat.
6. Perubahan eliminasi bowel kembali normal





BAB IV
PENUTUP

4. 1. Kesimpulan
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan sistem saraf enterik dan ditandai oleh tidak adanya sel ganglion pada kolon distal sehingga menyebabkan obstruksi fungsional. Sebagian kasus sekarang didiagnosis pada masa neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dipertimbangkan pada neonatus yang gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah dilahirkan.











DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi ke-3. Jakarta : EGC.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.
Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd), Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan.Edisi ke -^. Jakarta : EGC
Staf Pengajar Ilmu kesehatan Anak . 1991. Ilmu Kesehatan Anak . Edisi Ke-2 . Jakarta : FKUI .
Mansjoer , Arif . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran .Edisi Ke-3 . Jakarta : Media Aesulapius FKUI

Asuhan keperawatan WSD

BAB I
PENDAHULUAN



1. 1. Latar Belakang
Pada trauma (luka tusuk di dada), biasanya disebabkan oleh benda tajam, bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga paru-paru. Mekanisme penyebabnya bisa satu tusukan kuat ataupun satu gerakan mendadak yang hebat. Akibatnya, selain terjadi peradarahan dari rongga paru-paru, udara juga akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, paru-paru pada sisi yang luka akan mengempis. Penderita nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang (Kartono, M. 1991).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994). Hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan dengan trauma di USA dan 50% kematian berhubungan dengan trauma yang mencakup cedera sistim multiple. Diklasifikasikan dengan trauma tumpul dan trauma tembus. Penyebab utama cedera pada dada adalah kecelakaankendaraan bermotor. Luka penetrasi untuk trauma tembus adalah luka tembak dan luka tusuk.
Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura di tempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infuse yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD.

1.2.Tujuan
Dengan mempelajari ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mengerti apa yang dmaksud WSD pada luka Trauma.
2. Memahami Anatomi dari tubuh kita berhubungan dengan WSD (Water Seal Drainage.
3. Mengetahui bagaimanakah penatalaksanaan dari WSD, terapi, dan tindakan preventif dari WSD
4. Mengetahui apakah data penunjang pemeriksaan WSD
5. Mengetahui dan mengerti bagaimana perawatan WSD












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2. 1. Definisi
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pengertian WSD adalah:
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura di tempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infuse yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD. Pneumotoraks terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula dengan cara memasukkan darah atau glukosa hipertonis ke dalam rongga pleura sebagai pleurodesi. Ada juga para ahli yang mengobati pneu- motoraks terbuka dengan memasang WSD disertai penghisap terus menerus (Continuous Suction).
Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.
b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” tetap baik.
- Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).

- Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.

- Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.

Tanda dan gejala umum:
1. Nyeri pada tempat cedera, yang meningkat saat
inspirasi
2. Nyeri tekan setempat dan krepitus saat palpasi
3. Napas dangkal
4. Area tempat fraktur tampak memar.







Gambar pasien yang menggunakan WSD (Water Seal Drainage)





2. 2. Anatomi
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis)
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.

Isi :
- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
- Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

2.3. Ada Beberapa Macam Wsd :
1. WSD dengan satu botol
• Merupakan sistem drainage yang sangat sederhana
• Botol berfungsi selain sebagai water seal juga berfungsi sebagai botol penampung.
• Drainage berdasarkan adanya grafitasi.
• Umumnya digunakan pada pneumotoraks
2. WSD dengan dua botol
• Botol pertama sebagai penampung / drainase
• Botol kedua sebagai water seal
• Keuntungannya adalah water seal tetap pada satu level.
• Dapat dihubungkan sengan suction control
3. WSD dengan 3 botol
• Botol pertama sebagai penampung / drainase
• Botol kedua sebagai water seal
• Botol ke tiga sebagai suction kontrol, tekanan dikontrol dengan manometer.



2. 4. Kapan Wsd Dicabut ?
WSD dicabut apabila paru telah mengembang sempurna. Untuk mengetahui paru sudah mengembang ialah dengan jalan penderita disuruh batuk-batuk, apabila di selang WSD tidak tampak lagi fluktuasi permukaan cairan, kemungkinan besar paru telah mengembang dan juga disesuaikan dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk mengetahui secara pasti paru telah mengembang dilakukan Rontgen foto toraks. Setelah dipastikan bahwa paru telah mengembang sempurna, sebaiknya WSD jangan langsung dicabut tapi diklem dulu selama 3 hari. Setelah 3 hari klem dibuka. Apabila paru masih tetap mengembang dengan baik baru selang WSD dicabut. Selang WSD dicabut pada waktu penderita Ekspirasi maksimal.

2. 5. Teknik Pemasangan Wsd
Tempat pemasangan drain sebaiknya ialah :
a. Linea aksilaris media pada sela iga 6 atau sela iga ke 7.
b. Linea media klavikularis pada sela iga ke dua.
Setelah dilakukan desinfeksi kulit, maka dilakukan anestesi setempat dengan cara infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura. Kemudian dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan di bawah kulit. Pleura parietalis ditembus dengan jarum pungsi yang pakai trokar dan mandrin. Setelah tertembus, mandrin dicabut akan terasa keluar udara. Kemudian mandrin diganti dengan kateter yang terlebih dahulu telah diberi lobang secukupnya pada ujungnya. Setelah kateter masuk rongga pleura trokar dicabut dan pangkal kateter disambung dengan selang yang dihubungkan dengan botol yang berisi air, di mana ujungnya terbenam ± 2 cm. Kateter diikat dengan benang yang dijahitkan kepada kulit sambil menutup luka. 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 38 1985







2. 6. Phatoflow


2. 7. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

2. 8. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.

b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.

c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
- Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
- Latihan napas dalam.
- Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
- Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam
selama 24 jam setelah operasi.
- Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
- Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.

g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

h. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

3. Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
-. Bila pneumotoraks <> 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
-. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
-. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

4. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.

2. 9. Manifestasi Klinik:
1. Nyeri dada hebat
2. Dyspnea
3. Takipnea
4. Pernapasan paradoksial
5. Ansietas
6. Menggunakan otot-otot aksesori
7. Penurunan bunyi napas

2. 10. Komplikasi
1. Tension penumototrax
2. Penumotoraks bilateral
3. Emfiema






















BAB III
ISI
ASUHAN KEPERAWATAM PADA PENDERITA TRAUMA THORAXS

3. 1. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

3. 2. Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
a. Sesak napas
b. Nyeri, batuk-batuk.
c. Terdapat retraksi klavikula/dada.
d. Pengambangan paru tidak simetris.
e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal.
d. Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
- Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.
- Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
- Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
a. Kemampuan sendi terbatas.
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam.
c. Terdapat kelemahan.
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
a. Terjadi peningkatan metabolisme.
b. Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.
- Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
- Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c. Pa O2 normal / menurun.
d. Saturasi O2 menurun (biasanya).
e. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

Intevensi Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
b. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.


Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
- Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
- Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.

c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
- Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
- Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
- Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.

f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
- Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
- Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
- gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
- Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
- Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.

g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a. Pemberian antibiotika.
b. Pemberian analgetika.
c. Fisioterapi dada.
d. Konsul photo toraks.
- Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan batuk yang efektif.
b. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
c. Klien nyaman.

Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
- Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
- Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
- Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
- Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
- Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

c. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
- Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

d. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
- Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.

e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
- Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a. Pemberian expectoran.
b. Pemberian antibiotika.
c. Fisioterapi dada.
d. Konsul photo toraks.
- Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
b. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
c. Pasien tidak gelisah.

Intervensi :
a. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
- Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
- Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
- Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ;
misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
- Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

d. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
- Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
- Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

Evaluasi
1. Klien sudah bernafas dengan efektive
2. Jalan napas klien sudah lancar/normal
3. Nyeri Klien sudah berkurang/hilang
4. Klien sudah merasa nyaman, dan mulai bisa beraktivitas yang ringan.





BAB IV
PENUTUP


4. 1. Kesimpulan
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pengertian WSD adalah:
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Asuhan keperawatan WSD

BAB I
PENDAHULUAN



1. 1. Latar Belakang
Pada trauma (luka tusuk di dada), biasanya disebabkan oleh benda tajam, bila tidak mengenai jantung, biasanya dapat menembus rongga paru-paru. Mekanisme penyebabnya bisa satu tusukan kuat ataupun satu gerakan mendadak yang hebat. Akibatnya, selain terjadi peradarahan dari rongga paru-paru, udara juga akan masuk ke dalam rongga paru-paru. Oleh karena itu, paru-paru pada sisi yang luka akan mengempis. Penderita nampak kesakitan ketika bernapas dan mendadak merasa sesak dan gerakan iga disisi yang luka menjadi berkurang (Kartono, M. 1991).
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994). Hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan dengan trauma di USA dan 50% kematian berhubungan dengan trauma yang mencakup cedera sistim multiple. Diklasifikasikan dengan trauma tumpul dan trauma tembus. Penyebab utama cedera pada dada adalah kecelakaankendaraan bermotor. Luka penetrasi untuk trauma tembus adalah luka tembak dan luka tusuk.
Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura di tempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infuse yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD.

1.2.Tujuan
Dengan mempelajari ini diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mengerti apa yang dmaksud WSD pada luka Trauma.
2. Memahami Anatomi dari tubuh kita berhubungan dengan WSD (Water Seal Drainage.
3. Mengetahui bagaimanakah penatalaksanaan dari WSD, terapi, dan tindakan preventif dari WSD
4. Mengetahui apakah data penunjang pemeriksaan WSD
5. Mengetahui dan mengerti bagaimana perawatan WSD












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2. 1. Definisi
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pengertian WSD adalah:
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Tindakan sederhana ini akan dapat menolong dan menyelamatkan jiwa penderita. Bila alat-alat WSD tidak ada, dapat kita gunakan infus set, dimana jarumnya ditusukkan ke dalam rongga pleura di tempat yang paling sonor waktu diperkusi. Sedangkan ujung selang infuse yang lainnya dimasukkan ke dalam botol yang berisi air. Pneumotoraks tertutup yang tidak terlalu luas (Kurang dari 20% paru yang kolaps) dapat dirawat secara konservatif, tetapi pada umumnya untuk mempercepat pengembangan paru lebih baik dipasang WSD. Pneumotoraks terbuka dapat dirawat secara konservatif dengan mengusahakan penutupan fistula dengan cara memasukkan darah atau glukosa hipertonis ke dalam rongga pleura sebagai pleurodesi. Ada juga para ahli yang mengobati pneu- motoraks terbuka dengan memasang WSD disertai penghisap terus menerus (Continuous Suction).
Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik : Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shoks.
b. Terapi : Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” dapat kembali seperti yang seharusnya.
c. Preventive : Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga “mechanis of breathing” tetap baik.
- Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).

- Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.

- Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.

Tanda dan gejala umum:
1. Nyeri pada tempat cedera, yang meningkat saat
inspirasi
2. Nyeri tekan setempat dan krepitus saat palpasi
3. Napas dangkal
4. Area tempat fraktur tampak memar.







Gambar pasien yang menggunakan WSD (Water Seal Drainage)





2. 2. Anatomi
1. Anatomi Rongga Thoraks
Kerangka dada yang terdiri dari tulang dan tulang rawan, dibatasi oleh :
- Depan : Sternum dan tulang iga.
- Belakang : 12 ruas tulang belakang (diskus intervertebralis)
- Samping : Iga-iga beserta otot-otot intercostal.
- Bawah : Diafragma
- Atas : Dasar leher.

Isi :
- Sebelah kanan dan kiri rongga toraks terisi penuh oleh paru-paru beserta pembungkus pleuranya.
- Mediatinum : ruang di dalam rongga dada antara kedua paru-paru. Isinya meliputi jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar, oesophagus, aorta desendens, duktus torasika dan vena kava superior, saraf vagus dan frenikus serta sejumlah besar kelenjar limfe (Pearce, E.C., 1995).

2.3. Ada Beberapa Macam Wsd :
1. WSD dengan satu botol
• Merupakan sistem drainage yang sangat sederhana
• Botol berfungsi selain sebagai water seal juga berfungsi sebagai botol penampung.
• Drainage berdasarkan adanya grafitasi.
• Umumnya digunakan pada pneumotoraks
2. WSD dengan dua botol
• Botol pertama sebagai penampung / drainase
• Botol kedua sebagai water seal
• Keuntungannya adalah water seal tetap pada satu level.
• Dapat dihubungkan sengan suction control
3. WSD dengan 3 botol
• Botol pertama sebagai penampung / drainase
• Botol kedua sebagai water seal
• Botol ke tiga sebagai suction kontrol, tekanan dikontrol dengan manometer.



2. 4. Kapan Wsd Dicabut ?
WSD dicabut apabila paru telah mengembang sempurna. Untuk mengetahui paru sudah mengembang ialah dengan jalan penderita disuruh batuk-batuk, apabila di selang WSD tidak tampak lagi fluktuasi permukaan cairan, kemungkinan besar paru telah mengembang dan juga disesuaikan dengan hasil pemeriksaan fisik. Untuk mengetahui secara pasti paru telah mengembang dilakukan Rontgen foto toraks. Setelah dipastikan bahwa paru telah mengembang sempurna, sebaiknya WSD jangan langsung dicabut tapi diklem dulu selama 3 hari. Setelah 3 hari klem dibuka. Apabila paru masih tetap mengembang dengan baik baru selang WSD dicabut. Selang WSD dicabut pada waktu penderita Ekspirasi maksimal.

2. 5. Teknik Pemasangan Wsd
Tempat pemasangan drain sebaiknya ialah :
a. Linea aksilaris media pada sela iga 6 atau sela iga ke 7.
b. Linea media klavikularis pada sela iga ke dua.
Setelah dilakukan desinfeksi kulit, maka dilakukan anestesi setempat dengan cara infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura. Kemudian dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan di bawah kulit. Pleura parietalis ditembus dengan jarum pungsi yang pakai trokar dan mandrin. Setelah tertembus, mandrin dicabut akan terasa keluar udara. Kemudian mandrin diganti dengan kateter yang terlebih dahulu telah diberi lobang secukupnya pada ujungnya. Setelah kateter masuk rongga pleura trokar dicabut dan pangkal kateter disambung dengan selang yang dihubungkan dengan botol yang berisi air, di mana ujungnya terbenam ± 2 cm. Kateter diikat dengan benang yang dijahitkan kepada kulit sambil menutup luka. 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 38 1985







2. 6. Phatoflow


2. 7. Pemeriksaan Penunjang :
a. Photo toraks (pengembangan paru-paru).
b. Laboratorium (Darah Lengkap dan Astrup).

2. 8. Penatalaksanaan
1. Bullow Drainage / WSD
Pada trauma toraks, WSD dapat berarti :
a. Diagnostik :
Menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam shock.

b. Terapi :
Mengeluarkan darah atau udara yang terkumpul di rongga pleura. Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" dapat kembali seperti yang seharusnya.

c. Preventive :
Mengeluarkan udaran atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga "mechanis of breathing" tetap baik.

2. Perawatan WSD dan pedoman latihanya :
a. Mencegah infeksi di bagian masuknya slang.
Mendeteksi di bagian dimana masuknya slang, dan pengganti verband 2 hari sekali, dan perlu diperhatikan agar kain kassa yang menutup bagian masuknya slang dan tube tidak boleh dikotori waktu menyeka tubuh pasien.

b. Mengurangi rasa sakit dibagian masuknya slang. Untuk rasa sakit yang hebat akan diberi analgetik oleh dokter.

c. Dalam perawatan yang harus diperhatikan :
- Penetapan slang.
Slang diatur se-nyaman mungkin, sehingga slang yang dimasukkan tidak terganggu dengan bergeraknya pasien, sehingga rasa sakit di bagian masuknya slang dapat dikurangi.
- Pergantian posisi badan.
Usahakan agar pasien dapat merasa enak dengan memasang bantal kecil dibelakang, atau memberi tahanan pada slang, melakukan pernapasan perut, merubah posisi tubuh sambil mengangkat badan, atau menaruh bantal di bawah lengan atas yang cedera.

d. Mendorong berkembangnya paru-paru.
- Dengan WSD/Bullow drainage diharapkan paru mengembang.
- Latihan napas dalam.
- Latihan batuk yang efisien : batuk dengan posisi duduk, jangan batuk waktu slang diklem.
- Kontrol dengan pemeriksaan fisik dan radiologi.

e. Perhatikan keadaan dan banyaknya cairan suction.
Perdarahan dalam 24 jam setelah operasi umumnya 500 - 800 cc. Jika perdarahan dalam 1 jam melebihi 3 cc/kg/jam, harus dilakukan torakotomi. Jika banyaknya hisapan bertambah/berkurang, perhatikan juga secara bersamaan keadaan pernapasan.

f. Suction harus berjalan efektif :
Perhatikan setiap 15 - 20 menit selama 1 - 2 jam setelah operasi dan setiap 1 - 2 jam
selama 24 jam setelah operasi.
- Perhatikan banyaknya cairan, keadaan cairan, keluhan pasien, warna muka, keadaan pernapasan, denyut nadi, tekanan darah.
- Perlu sering dicek, apakah tekanan negative tetap sesuai petunjuk jika suction kurang baik, coba merubah posisi pasien dari terlentang, ke 1/2 terlentang atau 1/2 duduk ke posisi miring bagian operasi di bawah atau di cari penyababnya misal : slang tersumbat oleh gangguan darah, slang bengkok atau alat rusak, atau lubang slang tertutup oleh karena perlekatanan di dinding paru-paru.

g. Perawatan "slang" dan botol WSD/ Bullow drainage.
1) Cairan dalam botol WSD diganti setiap hari , diukur berapa cairan yang keluar kalau ada dicatat.
2) Setiap hendak mengganti botol dicatat pertambahan cairan dan adanya gelembung udara yang keluar dari bullow drainage.
3) Penggantian botol harus "tertutup" untuk mencegah udara masuk yaitu meng"klem" slang pada dua tempat dengan kocher.
4) Setiap penggantian botol/slang harus memperhatikan sterilitas botol dan slang harus tetap steril.
5) Penggantian harus juga memperhatikan keselamatan kerja diri-sendiri, dengan memakai sarung tangan.
6) Cegah bahaya yang menggangu tekanan negatip dalam rongga dada, misal : slang terlepas, botol terjatuh karena kesalahan dll.

h. Dinyatakan berhasil, bila :
a. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik dan radiologi.
b. Darah cairan tidak keluar dari WSD / Bullow drainage.
c. Tidak ada pus dari selang WSD.

3. Pemeriksaan penunjang
a. X-foto thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
b. Diagnosis fisik :
-. Bila pneumotoraks <> 30% atau hematothorax sedang (300cc) drainase cavum pleura dengan WSD, dainjurkan untuk melakukan drainase dengan continues suction unit.
-. Pada keadaan pneumothoraks yang residif lebih dari dua kali harus dipertimbangkan thorakotomi
-. Pada hematotoraks yang massif (terdapat perdarahan melalui drain lebih dari 800 cc segera thorakotomi.

4. Terapi :
a. Antibiotika..
b. Analgetika.
c. Expectorant.

2. 9. Manifestasi Klinik:
1. Nyeri dada hebat
2. Dyspnea
3. Takipnea
4. Pernapasan paradoksial
5. Ansietas
6. Menggunakan otot-otot aksesori
7. Penurunan bunyi napas

2. 10. Komplikasi
1. Tension penumototrax
2. Penumotoraks bilateral
3. Emfiema






















BAB III
ISI
ASUHAN KEPERAWATAM PADA PENDERITA TRAUMA THORAXS

3. 1. Pengkajian :
Point yang penting dalam riwayat keperawatan :
1. Umur : Sering terjadi usia 18 - 30 tahun.
2. Alergi terhadap obat, makanan tertentu.
3. Pengobatan terakhir.
4. Pengalaman pembedahan.
5. Riwayat penyakit dahulu.
6. Riwayat penyakit sekarang.
7. Dan Keluhan.

3. 2. Pemeriksaan Fisik :
1. Sistem Pernapasan :
a. Sesak napas
b. Nyeri, batuk-batuk.
c. Terdapat retraksi klavikula/dada.
d. Pengambangan paru tidak simetris.
e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain.
f. Pada perkusi ditemukan Adanya suara sonor/hipersonor/timpani, hematotraks (redup)
g. Pada asukultasi suara nafas menurun, bising napas yang berkurang/menghilang.
h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas.
i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas.

2. Sistem Kardiovaskuler :
a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk.
b. Takhikardia, lemah
c. Pucat, Hb turun /normal.
d. Hipotensi.

3. Sistem Persyarafan :
- Tidak ada kelainan.

4. Sistem Perkemihan.
- Tidak ada kelainan.

5. Sistem Pencernaan :
- Tidak ada kelainan.

6. Sistem Muskuloskeletal - Integumen.
a. Kemampuan sendi terbatas.
b. Ada luka bekas tusukan benda tajam.
c. Terdapat kelemahan.
d. Kulit pucat, sianosis, berkeringat, atau adanya kripitasi sub kutan.

7. Sistem Endokrine :
a. Terjadi peningkatan metabolisme.
b. Kelemahan.

8. Sistem Sosial / Interaksi.
- Tidak ada hambatan.

9. Spiritual :
- Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

10. Pemeriksaan Diagnostik :
a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural.
b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.
c. Pa O2 normal / menurun.
d. Saturasi O2 menurun (biasanya).
e. Hb mungkin menurun (kehilangan darah).
f. Toraksentesis : menyatakan darah/cairan,

Diagnosa Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan alat eksternal.
5. Resiko Kolaboratif : Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma mekanik terpasang bullow drainage.
7. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.

Intevensi Keperawatan :
1. Ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma.
Tujuan : Pola pernapasan efektive.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
b. Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru.
c. Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab.


Intervensi :
a. Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
- Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpsnsi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.

b. Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau perubahan tanda-tanda vital.
- Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital dapat terjadi sebgai akibat stress fifiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syock sehubungan dengan hipoksia.

c. Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan.
- Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

d. Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru.
- Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

e. Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
- Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia, yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.

f. Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam :
1) Periksa pengontrol penghisap untuk jumlah hisapan yang benar.
- Mempertahankan tekanan negatif intrapleural sesuai yang diberikan, yang meningkatkan ekspansi paru optimum/drainase cairan.
2) Periksa batas cairan pada botol penghisap, pertahankan pada batas yang ditentukan.
- Air penampung/botol bertindak sebagai pelindung yang mencegah udara atmosfir masuk ke area pleural.
3) Observasi gelembung udara botol penempung.
- gelembung udara selama ekspirasi menunjukkan lubang angin dari penumotoraks/kerja yang diharapka. Gelembung biasanya menurun seiring dnegan ekspansi paru dimana area pleural menurun. Tak adanya gelembung dapat menunjukkan ekpsnsi paru lengkap/normal atau slang buntu.
4) Posisikan sistem drainage slang untuk fungsi optimal, yakinkan slang tidak terlipat, atau menggantung di bawah saluran masuknya ke tempat drainage. Alirkan akumulasi dranase bela perlu.
- Posisi tak tepat, terlipat atau pengumpulan bekuan/cairan pada selang mengubah tekanan negative yang diinginkan.
5) Catat karakter/jumlah drainage selang dada.
- Berguna untuk mengevaluasi perbaikan kondisi/terjasinya perdarahan yang memerlukan upaya intervensi.

g. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
1) Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a. Pemberian antibiotika.
b. Pemberian analgetika.
c. Fisioterapi dada.
d. Konsul photo toraks.
- Mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

2. Inefektif bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan sekresi sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Jalan napas lancar/normal
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan batuk yang efektif.
b. Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan.
c. Klien nyaman.

Intervensi :
a. Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat penumpukan sekret di sal. pernapasan.
- Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

b. Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
- Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif, menyebabkan frustasi.
1) Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
- Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
2) Lakukan pernapasan diafragma.
- Pernapasan diafragma menurunkan frek. napas dan meningkatkan ventilasi alveolar.
3) Tahan napas selama 3 - 5 detik kemudian secara perlahan-lahan, keluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
4) Lakukan napas ke dua , tahan dan batukkan dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
- Meningkatkan volume udara dalam paru mempermudah pengeluaran sekresi sekret.

c. Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
- Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan upaya batuk klien.

d. Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak kontraindikasi.
- Sekresi kental sulit untuk diencerkan dan dapat menyebabkan sumbatan mukus, yang mengarah pada atelektasis.

e. Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik setelah batuk.
- Hiegene mulut yang baik meningkatkan rasa kesejahteraan dan mencegah bau mulut.

f. Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi dan fisioterapi.
a. Pemberian expectoran.
b. Pemberian antibiotika.
c. Fisioterapi dada.
d. Konsul photo toraks.
- Expextorant untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan menevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

3. Perubahan kenyamanan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan dan reflek spasme otot sekunder
Tujuan : Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil :
a. Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
b. Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri.
c. Pasien tidak gelisah.

Intervensi :
a. Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
- Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
1) Ajarkan Relaksasi : Tehnik-tehnik untuk menurunkan ketegangan otot rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi masase.
- Akan melancarkan peredaran darah, sehingga kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi, sehingga akan mengurangi nyerinya.
2) Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
- Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang menyenangkan.

b. Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ;
misal waktu tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
R/ Istirahat akan merelaksasi semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan.

c. Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan berlangsung.
- Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya. Dan dapat membantu mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana teraupetik.

d. Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
- Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang.

e. Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
- Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data yang obyektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi yang tepat.

Evaluasi
1. Klien sudah bernafas dengan efektive
2. Jalan napas klien sudah lancar/normal
3. Nyeri Klien sudah berkurang/hilang
4. Klien sudah merasa nyaman, dan mulai bisa beraktivitas yang ringan.





BAB IV
PENUTUP


4. 1. Kesimpulan
Trauma thorax adalah semua ruda paksa pada thorax dan dinding thorax, baik trauma atau ruda paksa tajam atau tumpul. (Lap. UPF bedah, 1994).
Hematotorax adalah tedapatnya darah dalam rongga pleura, sehingga paru terdesak dan terjadinya perdarahan.
Pneumotorax adalah terdapatnya udara dalam rongga pleura, sehingga paru-paru dapat terjadi kolaps.
Pengertian WSD adalah:
Merupakan tindakan invasif yang dialakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga thoraks, dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.